Posted in Me Time, Ulasan

Cuplikan: Salah Pilih


“Rencana Allah adalah yang terbaik, TERBAIK”

“Mana Asnah, anakku?. Aduhai, aku hanya ingin melihat wajahnya yang menyejukkan hati, bukan rupa mu, wahai Liah. Akupun tak nak meminum obat kau yang bau dan pahit itu. Mana, mana dia, Asnah. Cukuplah aku melihat wajahnya, akupun akan pulih kembali.” Teriak ibu Mariati kepada ibu Liah saudarinya yang dengan sabar membujuk rayunya akan meminum ramuan 7 macam daun limau itu. “Asnah tengah pergi ke Balai, kak. Aku menyuruhnya akan sesuatu kepentingan, jawa ibu Liah dengan sabarnya. Lagipula tak baiklah untuk kesehatan gadis itu, udara kamar kakak yang bau kemenyan ini, ia harus juga hendaknya menghirup udara segar kak. Agar baik untuk tubuhnya.” Jawab ibu Liah kembali. Dengan lirih ibu Mariati bersuara, “benarkah sedemikian Liah? Akan hal itu Asnah tak pernah mengeluh akan daku.” “Ya kak, itulah sebabnya aku menyuruh dia pergi ke balai, sekalian menghirup udara segar hendaknya, anak gadis kakak itu”. Jawab ibu Liah kembali. Tak seberapa lama kemudian, terdengar langkah kaki menaiki tangga rumah gedang itu. Dan ibu Mariati bersorak pula, akan sangat bahagianya hatinya, bahwasanya ia tahu, itu Asnah. Asnah anak gadisnya yang telah pulang dari Balai.

Asnah, anak gadis, semarak rumah gedang keluarga ibu Mariati. Walau sejatinya Asnah bukanlah anak kandung Ibu Mariati, melainkan sesungguhnya anak sekaum dan sesukunya. Oleh karena ibu Mariati tiada beranak perempuan, maka diangkatlah Asnah, anak pengurus rumah tangganya, menjadi anaknya. Kala itu ayah Asnah meninggal di rantau orang, dan ibunya pun pulang ke kampung batang ini dan bekerja mengurus rumah tangga ibu Mariati. Ibu Asnah meninggal kala ia berusia tiga tahun. Dan sejak saat itu, Asnah di asuh dan di pelihara oleh ibu Mariati, bagai anaknya sendiri. Sedangkan Asri, Anak kandungnya, teramat sayang pulalah ia pada Asnah, bagai saudara sekandungnya.

Kala itu, Asri tengah bersekolah MULO, di Jakarta. Sudah lama ia tak pulang, namun hari itu, kala Ibu Mariati tengah sakit kakinya terdengarlah kabar bahwasanya Asri hendak pulang. Alangkah bahagianya hati Ibu Mariati, begitu juga dengan Asnah. Mendengar kabar bahagia itu, hatinya berdebar-debar, ingin segera bertemu dengan kakandanya itu. Setibanya di rumah, mereka saling melepas rindu, dan disaat yang tepat ibu Mariati menyampaikan keinginannya pada Asri. Bahwasanya ia sangat ingin Asri tetap tinggal di rumah gedang saja dan bekerja. Walau berat hati Asri, ia turuti jua permintaan ibunya itu. Walaupun sejatinya Asri ingin melanjutkan sekolahnya ke sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta. Akhirnya ia mengajukan permintaan kerja sebagai klerk di Padang sesuai anjuran ibunya.

Mujur benar nasib Asri itu, permohonan kerja sudah pula di terima. Hingga tebitlah pikiran ibu Mariati untuk mencarikan Asri pendamping hidup yang sesuai dengan keinginan dan kehendak hatinya. Pilihannya sendiri dan di restui oleh ibu serta ninik mamak kaumnya. Dihaturkanlah kepada Asri beberapa orang anak gadis, hendaknya Asri memilih salah satu dari mereka itu. Setelah menilik dan memilah jatuhlah pilihannya pasa seorang gadis anak rang kayo rumah berukir di Negeri. Saniah namanya, adik Rusiah yang pernah mematahkan hati Asri sebab menikah dengan lelaki lain.

Karena Asri telah memilih, dilangsungkanlah pertunangan antara Asri dan Saniah. Kala itu belum tahulah Asri akan sifat tabiat Saniah, karena ia terbutakan oleh kata cinta dan amat manis tingkah perilakunya. Saniah memaniskan muka dan perilakunya, sebab demikianlah harusnya. Masa pertunangan adalah masa untuk adu basa-basi, begitulah adat lama pusaka usang di ranah minang ini. Hingga akhirnya tibalah hari yang dijanjikan. Hari dimana Asri akan menikah dengan Saniah. Saat itu baru terasa pada hati Asri, hatinya tidak mengingini Saniah itu bakal jadi istrinya. Namun, apa boleh buat semua tetap berjalan semestinya.

Hari berlalu, Asri hendak membawa Saniah untuk tinggal di rumah gedang ibunya. Seperti mufakat diawal permulaan, jika nanti mereka menikah, Saniah akan tinggal di rumah ibu Asri sebelah hilir, terpisah dari Ibu Mariati dan Asnah. Niatan ini ganjil di mata adat orang minang, selayaknyalah seorang suami tinggal di rumah mertuanya, bukan sebaliknya. Namun, niat Asri ini dimanfaatkan rangkayo Saleah yang tamak akan harta ini untuk mendapatkan kekayaan Asri. Meski masih ganjil jualah keinginannya yang satu ini. Karena adat kita ini mengikuti galur ibu, harta dan segala warisan akan jatuh ke tangan pihak perempuan kerabat laki-laki itu, bukan istri. Kerabat itu sekalian kemenakan, orang sesuku dan sekaumnya. Dan disana masih ada Asnah, yang akan mengurus segala harta Asri nantinya, bukan Saniah istrinya. Namun, Rangkayo Saleah membiarkan anaknya dibawa Asri kerumah ibundanya. Dan Asri tak pula menyangka, akan azab yang akan di derita Asnah sebab keputusannya itu.

Hari bertukar, rumah gedang itu tak lagi sesemarak dulu. Orang setangga sekalianpun tak ingin bertandang barang sebentar, takut akan rentak dan kasarnya ucapan Saniah. Terhadap Asri, Saniahpun berlaku tiada manisnya. Perihal yang ada dalam hatinya, hanya berkuasa akan rumah gedang itu. Sudah banyak akal muslihat untuk mengusir Asnah dari rumah gedang itu. Rupanya ia mulai merasa cemburu kepada terhadap Asnah, curiga Asri menyimpan hati pada Asnah. Namun demikian, bagaimanapun kerasnya siksa yang di deritanya. Tak pernah Asnah sekalipun menceritakan pada Asri terlebih Ibu Mariati. Tertanam dalam hatinya, ia tak akan pergi meninggalkan rumah gedang itu, selama ibu Mariati yang semakin tua itu masih berhajat padanya. Nasib, malang tak dapat di tolak untung tak dapat dicari, sakit ibu Mariati semakin keras. Ibu Liah mulai hancur hatinya, oleh karena apapun obat yang dahulu di benci oleh kakaknya itu di minumnya penuh pasrah. Tiada seperti dulu lagi, ia menampik dan mencerca obat-bat kampung itu. Terbitlah kesadaran dalam hatinya, rupanya penyakit kakaknya itu memang sudah tak dapat diapa-apakan lagi. Dan hari itu, kala Asri dan Asnah duduk menunggui ibu yang mereka cintai ini. Sudah tiba waktunya rupanya, sebelum ruh berpisah dari jasadnya sempat ia mengatakan, mencurahkan isi hatinya berikut kekecewaan yang teramat bagi seorang ibu yang budiman dan baik hati itu. “Asri, aku telah keliru. Hendaknyalah kau ku nikahkan dengan Asnah, karena tak terperikan olehku derita yang kau tanggung saat ini, karena salah pilih. Karena adat lama pusaka usang yang melarang perkawinan sesuku ini, kau menderitakan ini semua.” Hari itu, hari yang paling sedih untuk Asnah, karena sudah nampak benar penderitaan apalagi yang akan di tanggungnya setelah Ibu Mariati meninggal.

Akhirnya, Asnah pergi dari rumah gedang itu, dari kampung batang menuju Bayur. Disanalah Asnah menghabiskan hari-harinya tanpa siksaan dari Saniah lagi. Tapi, di rumah gedang, Asri lah yang tersiksa hatinya. Ia acapkali pulang larut dan membawa pekerjaan kantornya kerumah. Rumah gedang itu kini suram, tak semarak pula. Saniahpun sering kali pulang ke negeri tanpa sepengetahuan Asri. Hingga suatu hari, Kaharudin – saudara Saniah, mengirimkan surat pemohonan izin untuk menikah dengan pilihan hatinya di Padang. Alangkah murkanya rang kayo Saleah mendengar niat anaknya itu. Secepat kilat ia memutuskan akan berangkat ke Padang demi mencegah pernikahan itu. Disuruhnya pulalah bujangnya untuk menjemput Saniah, karena Suaminya mencegahnya untuk berangkat. Bujang itu datang ke rumah gedang, disaat hujan deras. Bujang itu menyampaikan perintah bundanya Saniah itu. Dan ia tak ingin pergi malam itu karena hujan yang sangat deras.

Keesokan paginya, tibalah Saniah dan bujang itu ke rumah berukir rangkayo Saleah di Negeri. Lalu berangkat mengendarai oto yang sudah di pesan. Karena amarah yang tak terkendalikan dan kesombongan yang tak dapat di tahan, ia memerintahkan supir oto itu melaju dengan kencang. Memang nasib suratan takdir, sekejap mata kecelakaan itu terjadi, oto terperosok ke sawah. Rangkayo Saleah meninggal seketika, sopir dan Saniah masih bernafas, sedangkan bujang itu teramat beruntung nasibnya. Ia selamat tanpa luka sedikitpun. Sekalian mereka dibawa ke rumah sakit militer di Bukittingi.  Saat Asri tiba, Saniah pun membuka matanya, hanya maaf lahir dan batin yang ia pinta. Dan pergi pulalah ia menghadap penciptanya, selamanya.

Hati tak kuasa berbohong lebih lama, rasa yang tersimpan begitu lama, tak lagi dapat ditahan oleh mereka berdua. Dan, Tuhan selalu punya cara yang indah menyatukan takdirnya. Pahitnya jalan Asri yang telah salah pilih, kini di ganti manisnya memang jodoh, pilihan takdir. Asri dan Asnah menikah di Bayur dan pergi merantau ke Jakarta. Tak lama kemudian, datanglah permintaan terhadap kepada mereka untuk pulang ke kampung batang, menjadi penghulu Asri di kampungnya. Atas permintaan pemuda disana. Semaraklah kembali rumah gedang itu, lengkaplah bahagia Asri dan Asnah itu pada akhirnya.

***

Ya, atuk Nur Sutan Iskandar. Saya sangat suka bahasa manis, atuk.  Terdengar manis, penuh kasih sayang dan kelembutan, cara Asri dan Asnah bertutur kata. Adakah memang sedemikian bahasa kampung kita pada zaman itu. Barangkali memang sedemikian, namun waktu memang merubah segalanya. Dizaman mama dan papa saya muda, bahasa yang sedemikian manis ini hanya di gunakan dalam tulisan, surat cinta, begitulah atuk. Dan dizaman saya seusia Asri dan Asnah, tiada lagi terdengar bahasa yang penuh kasih itu. Semuanya terasa kasar, ya atuk. Mungkin saya terlalu terhanyut dalam karya sastra klasik. Terbuai dalam manis dan indahnya kata, terbang bersama khayal akan keindahan alam kala itu, saat saya masih di surga(wallahualam).

Musim beralih zaman bertukar, ya atuk. Kini adat yang keras itu tiada lagi. Kini pun, “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah“. Dan yang mengeris hati ya atuk, rumah gadang ya atuk, sudah mulai menghilang dari ranah minang tercinta ini. Rumah yang di bangun mulai modern, mengikut perkembangan zaman. Tiada kandang itik di bawah rumah, tiada pula pagu tempat penyimpanan barang, di loteng. Tinggal di rumah gadang sangat menyenangkan ya, atuk. Masih jelas membekas dalam ingatan (di pakan sinayan), kala membuka jendela di pagi hari, saat saya masih berusia empat tahun, terhamparlah sawah yang membentang dari timur hingga ke barat, di pagari perbukitan, gunung marapi dan singgalang tegak menjaga, suara batang agam yang berisik namun menenangkan. Semarak rumah gadang kami dulu, dengan cucu-cucu nenek yang lucu dan riang ini. Begitu pula di baruah handaleh, dibawah ngarai. Nenek dan atuk beserta kerabat papa tinggal, rumah gadang tanpa penerangan saat malam, sungguh ya atuk, saya takut kegelapan. Tapi, saat ini, saya merindukannya atuk, duduk melamun di teras rumah gadang, memandang marapi yang berdiri menjulang sembari mengunyah daun sirih tanpa kelengkapan nya, karena ada yang datang mamanggia pertanda undangan pernikahan. Melamun, ada apakah di balik gunung yang cantik permai itu. Sembari mengunyah daun sirih yang terasa pedas di mulut, tapi takkan berubah merah tanpa pinang dan kapur sirih, yang ada hanya rasa senang, bahagia lahir di ranah yang indah ini.

Kini ya atuk, waktu semakin dekat rasanya. Sudah lama saya meninggalkan kampung, merantau ke tanah jawa. Apakah saya akan pulang ke ranah kita, atuk? Apakah akan ada upacara mengantar carano, mamanggia, mengantar singang ayam, kamar berhias selama sebulan,  suntiang emas dan basandiang anak daro jo marapulai. wallahualam, ya atuk..

Posted in Me Time, Ulasan

Cuplikan: MEMANG JODOH


MEMANG JODOH

Karya: Marah Roesli

Tersebutlah Marah Hamli, seorang bangsawan anak Sutan Bendahara dan istri pertamanya Siti Anjani, seorang cerdik pandai yang memilih melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Pertanian di Bogor demi mewujudkan pinta ibunya yang tak ingin jauh dari putra sebijimata-nya itu. Karena bagi siti Anjani, ibunya, dialah satu-satunya tumpuan kasih dan pelipur lara sejak Sutan Bendahara, suaminya, menikah lagi demi menurut adat istiadat nenek moyang ranah minang itu. Walau sejatinya, Marah Hamli, ingin pergi mengembara jauh, demi memenuhi suatu panggilan hatinya yang entah apa, entah dari siapa dan entah untuk siapa. Seperti ada yang memanggilnya untuk datang, seperti suatu hutang yang harus dibayar, namun ia tak tahu hutang pada siapa dan berapa yang harus ia bayar.

Demi ibundanya tercinta, jadilah Marah Hamli berangkat ke tanah jawa bersama nenekda yang tak pernah jauh darinya. Kemanapun Hamli pergi, nenek Khatijah selalu menyertainya. Begitupun untuk sekolah ke Bogor ini, nenek Khatijah selalu setia menemani cucundanya. Hamli sangat pandai bermain biola, dan kepandaian itu dijadikannya pekerjaan sambilan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Sebenarnya, kehidupan Hamli dan nenek Khatijah di Bogor di tanggung sepenuhnya oleh mamak Hamli, Baginda Raja, yang sudah mempertunangkan Hamli dengan anaknya sejak kecil. Dikarenakan adat istiadat minangkabau yang berlaku saat itu, mamak akan membiayai kehidupan kemenakannya, dan Baginda Raja memperlakukan lebih demi niat hatinya beroleh Hamli sebagai menantu.

Waktu bergulir, setahun sudah Hamli bersekolah di sekolah pertanian di Bogor itu. Bogor adalah kota yang permai, sekalian penduduknya ramah dan hawanya yang sejuk menenangkan serta memberi kedamaian bagi hati mereka sekaliannya. Tapi, tak satupun jua yang mampu membantu Hamli menjawab panggilan hatinya itu. Panggilan yang entah darimana, dari siapa dan untuk apa. Acapkali ia termenung sendiri, tak berkata sepatah jua, ada rasa sesak di hatinya, rasa pilu, rindu, Penyakit pilu. Datangnya tiba-tiba, tak dapat ditahan, tak dapat di lenyapkan dan tak pula dapat dilipur, ia akan lenyap sendiri. Bahkan ketika penyakit Pilu itu mendadak menyerangnya saat ia sedang makan, ia akan berhenti makan, dan termenung kembali. Sedang nenek Khatijah tak tahu lagi apa yang harus di perbuatnya demi mengobati penyakit pilu cucunya itu. Bahkan sebab musababnya pun ia tak tahu.

Hingga suatu hari, liburan sekolah telah tiba. Hamli dan nenek Khatijah tidak pulang ke Padang, karena kemenakan nenek khatijah, Kalsum, akan datang berkunjung dari Bandung. Sore itu, Hamli menunggu Bi Kalsum di stasiun Bogor seorang diri. Ia terhanyut dalam lamunannya sendiri. Tak disangkanya seorang gadis tengah, memperhatikannya penuh rasa iba. Waktu terus berlalu, hingga tibalah kereta api dari Bandung yang ditunggunya. Alangkah terkejutnya gadis itu beserta Hamli, orang yang mereka tunggu adalah sama, Bi Kalsum. Setelah bersalaman dan berpelukan, pergilah mereka ke rumah Nenek Khatijah bersama-sama. Dibalik pertemuan itu, sebelum berangkat ke Stasiun Bogor, gadis ayu yang menarik hati Hamli sedikit itu, menemani bibinya Radin Asmaya mengunjungi rumah Mpok Nur, tukang tenung di Bojong Neros. Tenungan Mpok Nur terkenal tepat, setelah maksud Radin Asmaya tersampaikan, gadis itu berkelakar meminta Mpok Nur memperlihatkan siapa bakal jodohnya, laki-laki seperti apakah yang akan menjadi jodohnya kelak. Sudah dekat ataukah masih lama ia akan menunggu jodohnya itu. Karena, telah banyak laki-laki yang meminang dan di tolaknya, belum jodoh ungkap hatinya. Mpok Nur dan Radin Asmaya pun penasaran, dan merekan mencoba menenung bakal jodoh gadis itu. Mpok Nur mulai membaca manteranya, menyusun kartu tuanya dan membuka kartu itu perlahan-lahan. Ia berseru dengan girangnya, jodohmu telah dekat bahkan sangat dekat, namun sayang dia adalah bangsawan dari tanah yang jauh, bukan orang tanah jawa ini. Gadis itu dan bibinya tercengang tak percaya. Diulanglah tenungan itu hingga tiga kali, dan hasilnya masih sama. Jodoh gadis itu sudah dekat, dan akan segera bertemu.

MEMANG JODOH. Demikianlah nyata yang harus diterima, seberapa banyak halang rintang, cobaan datang silih berganti, pertentangan keluarga kedua belah pihak, perdebatan hebat hingga pada akhirnya ketetapan hati jualah yang mengantarkan segala juang kepada akhir yang diinginkan. Ketenangan hati, kedamaian dan kebahagian. Meski tak ada satupun di dunia ini yang selalu berjalan sesuai pengharapan. Akhirnya Marah Hamli dan gadis itu, Radin Asmawati menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Perjalanan pernikahan mereka tiadalah mulus, kerap kali terjadi hal-hal di luar dugaan yang rupanya datang dari keluarga Hamli atau dari orang-orang yang teringin sekali Hamli menjadi menantunya, orang semendanya. Walau Hamli telah beristri dan beranak, tidaklah mengapa seorang berdarah bangsawan beristri lebih dari satu. Dan begitu pulalah adatnya, memberi aib malu bagi keluarganya jika ia hanya beristri satu dan tak lebih. Namun bagi Hamli tidak sekalipun ia beringin yang demikian itu. Baginya cukuplah satu istrinya, hanya Radin Asmaya ini. Dan demikianlah hingga akhirnya, Marah Hamli beristri hanya Radin Asmawati seorang, hingga hari tuanya, hingga akhir hembusan nafasnya.

***

Membaca sastra lama, saya sangat menyukainya. Terkadang muncul suatu perasaan saya mengalami masa-masa itu. Imajinasi menggambarkan latar belakang tempat dan waktu. Merasakan hal-hal yang tak dapat di rasakan saat ini. Begitu kental adat-istiadat, begitu teguhnya masyarakat memegang adat. Terasa benar perbedaannya dengan saat sekarang ini.

Dan lagi pula, sastra lama, sastra klasik, bahasanya sopan lagi indah. Tak sembarang, bahasa. Sangat suka pula saya menggunakannya, namun apa daya, saya hidup dizaman serba berkebebasan, serba mengikuti perkembangan bahasa. Layak tak layak, tak lagi jadi pertimbangan. “asa malantong” kato urang minang.

Bahasa atuk Marah Rusli, sayapun sangat menyukainya. Mungkin saya terbuai indahnya, karena sebentuklah bahasa itu dengan bahasa minang yang di Indonesiakan. Teringat oleh saya, ketika masa-masa bersekolah di SMAN1 AMPEK ANGKEK, LAMBAH, teman-temanpun sangat suka berkelakar menggunakan bahasa minang yang di indonesia-indonesiakan. Namun sungguh tak seindah bahasa atuk Marah Rusli. Mereka terdengar sumbang dan memperolok-olokkan bahasa Indonesia. Terang saja, dulu saya sangat tak menyukainya. Namun, saya ikut tertawa dan turut pula berolok-olok, bersuka-suka dengan mereka. Maklum mereka belum pernah meninggalkan kampungnya, barang sebentar saja.

Wahai atuk, sungguh aku hidup kurang lebih 100 tahun setelah engkau. Kini adat kita tak lagi sekeras itu, dan kini akupun bersekolah di sekolahmu dulu. Saat ini namanya IPB, Institut Pertanian Bogor. Dan banyak sudah jurusan-jurusan yang baru yang tak ada di zaman atuk dulu. Wahai atuk, banyak yang berubah selang waktu 100 tahun itu. Atuk kandungku dan tetua seusia mereka tak lagi beristri lebih dari satu, kehidupan saudara laki-laki di keluargapun di tanggung oleh ayah, sebagai kepala keluarga. Tak lagi mamak yang membiayainya seperti saat zaman muda-mu dulu. Dan bundaku, telah memilah-milah mana adat yang masih patut diajarkannya kepadaku, dan mana yang tidak. Walau aku tinggal di negeri orang ya atuk, aku tetap sebagai gadis minang yang tau adat. Walau kebebasan orang-orang disini kadang mengguncang jiwaku, menggoyahkan kakiku. Mana jika aku laksanakan akan rusak hati bunda olehku. Demikianlah atuk, sedikit cerita yang aku coba tuliskan mengikuti gaya bercerita dan keindahan tatanan bahasamu. Walau jauh indahnya dari karyamu, aku akan selalu berusaha.

Bogor, 24-26 Mei 2015

Dian Purnamasari